“Kehilangan.” Bukan Harapan
Semua terasa setelah Tuhan memisahkan. Memisahkan kamu
dan aku yang tidak lagi menjadi kita. Berpisah jauh berbeda keberadaan.
Perbedaan yang bukan hanya sekedar perbedaan. Perbedaan ini bukanlah perbedaan
tempat yang mungkin hanya berbeda jarak beberapa kilometer. Perbedaan tempat
yang bukan seperti bumi dan luar angkasa.
Sedih jika harus menerima kenyataan. Kenyataan antara aku
dan kamu yang berada di alam berbeda. Sebuah perbedaan yang sulit untuk
disamakan. Perpisahan yang nyata tidak akan pernah kembali bersama.
Seandainya aku bisa menawar kepada Tuhan, aku lebih
meminta dijauhkan hanya beberapa kilometer saja. Tidak seperti ini, dijauhkan
yang tidak bisa dianalisis berapa kilometer jauhnya. Tidak seperti suatu
hubungan jarak jauh yang pada suatu saat akan bertemu pada suatu tempat yang
sama.
Apa yang aku rasakan? Sedih? Sakit? Tidak, jika aku tidak
mencintainya.
Kehilanganmu bukanlah yang aku harapkan. Tapi mengingat
keESAan Tuhan bukanlah sebuah lawanan. Mengharapkanmu yang telah pergi untuk
kembali bersama di dunia sangat tidak mudah. Tidak seperti mengharapkanmu
kembali pada saat kau pergi ke suatu kota. Mengharapkanmu kembali tidak sama
seperti mengharapkan suatu barang yang diidam-idamkan. Perbedaan harapan yang
sangat drastis bedanya.
Apa yang sekarang aku lakukan? Tertawa bahagia setelah
mengetahui hal itu? Iya, jika aku tidak menyanyanginya.
Bibir ini terlalu bisu untuk berkata. Jari-jari ini
seperti terserang kram yang sama sekali tidak bisa digerakkan. Mata terbuka
tapi entah tatapannya menuju ke arah mana. Seperti kosong dan tanpa arah
tujuan. Telinga ini masih berfungsi tapi tidak bisa mendengar apa yang
dibicarakan orang. Seperti tuli tapi tidak. Hidung ini masih bernafas,
menghirup oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida. Tapi rasanya sesak, sangat
sesak. Seperti terserang asma.
Jantung ini masih berdetak, tapi...... apakah dia
mengalami hal yang sama sepertiku?
Duduk terdiam. Menatap dengan tatapan kosong. Berbicara
terbata-bata tapi otak tidak bisa mencerna dengan apa yang diucapkan.
Melihatmu terbaring sekarang tidak sama seperti
sebelumnya pada saat melihatmu terbaring dipangkuanku dengan senyuman manis
yang terhadir dibibirmu. Melihatmu, menatap sesosok wajah seseorang yang sangat
aku cintai, disayangi, diam dengan detakan jantung yang tidak lagi berfungsi.
Wajah pucat menampakkan ketiadaannya. Tidak bernyawa, tidak sama seperti
orang-orang yang menangisi kepergiannya.
Aku tidak ingin mengalami suatu kejadian ini. Tapi apa
yang bisa aku lakukan? Menolak dengan kemarahan itu sama saja menentang Tuhan.
Tidak ingin tetapi tidak bisa menolak. Berlutut memohon dengan sebuah harapan
besar pun rasanya tidak ada artinya. Kematiannya sudah digarisi Tuhan pada saat
itu. Menangis darahpun itu tidak bisa memberikan kajaiban untuk dia kembali
terhadap kenyataan.
Aku tidak tau. Sangat tidak tau. Menangis yang ada.
Seperti orang gila jika harus tertawa melihat orang yang dicintai tiada.
Rasanya tidak ingin mengingat kembali sebuah kejadian lampau bersamanya. Sebuah
canda tawa, kemarahan, perhatian, rasa kesal, kebahagiaan yang selalu
menyelimuti suatu hubungan kita. Ini seperti saatnya sebuah rekaman masa lalu
kembali berputar berulang-ulang dalam sebuah ingatan. Menjadikan air mata
tangisan terus membanjiri, mengalir, melewati setiap guratan pipi. Isak tangis
yang membuat jantung terasa sesak dengan ketidakterimaan terhadap kenyataan
ini.
Tidak ingin................ Jangan pernah tinggalkan
aku..................... Jangan pergi. Jangan menjauh. Tetap disini bersamaku.
Datanglah kembali untuk mengusap air mata ini. Jangan kau berpaling. Aku sangat
membutuhkan dirimu yang bisa membuat tangisan ini menjadi senyuman. Peluklah
aku. Buatlah aku tenang dengan suara alunan melodi yang kau mainkan
dihadapanku. Nyanyikanlah sebuah lagu didepan mataku, yang bisa membuat
kesakitan ini menjadi kebahagiaan nyata.
Aku mohon................................................................
Comments
Post a Comment