Luka
Entah
apa yang harus ku lakukan untuk membalut luka yang tak terlihat. Luka ini tidak
perlu ku buat, tidak perlu terjatuh di atas jalan beraspal, tidak perlu
tersayat karena serpihan kaca yang berhamburan, dan tidak perlu tertusuk karena
ulah jarum yang tajam. Luka ini, benarkah begitu saja ku rasakan? Benarkah?
Atau mungkin sebagian tulang rusukku sengaja membuatku terluka? Ah tidak, aku
tidak perlu meluangkan waktu seperti itu hanya untuk menyakiti diri sendiri.
Lalu
luka macam apa ini? Berani bertindak seolah majikan terhadapku. Begitu beraninya
menundukkan kepalaku sehingga tak mampu beranjak untuk menjemput kebahagiaan
yang sebelumnya ku buat. Luka macam apa ini? Bertindak seolah paranormal yang
mampu menghipnotis tanganku untuk menepuk dimana luka itu berasal, dimana letak
luka itu yang membuat air mataku mulai berhamburan.
Aku
terlalu sibuk memikirkan duka sehingga air mataku menggantikan perannya untuk
membalut luka.
Jika air mata hanya berperan
sebagai orang lain, lalu siapa sebenarnya yang berperan membalut lukamu?
Tidak
ada. Tidak seperti sebelumnya. Tidak sebelum luka itu ku pertanyakan darimana
asalnya. Ya, sebelum luka itu menggerutu, aku sempat menemukan “siapa sebenarnya yang berperan membalut
lukaku” luka yang terlalu banyak ku timbun sejak masa umur emasku.
Terkadang
aku mengeluh kesal karna luka tidak kunjung mengering meskipun air mata mencoba
berperan sebagai penyelamat. Lalu ku paksa jemari kecil menari diatas deretan
huruf, ku jadikan sebagai obat bius agar luka tak sempat ku rasakan. Ah tetap
saja, luka selalu membuat perasaan berlarut-larut merasakan duka. Luka yang
selalu menggantikan suka menjadikannya rasa duka. Sungguh ironis.
Saat
ini, duniaku bergantung pada air mata dan berjuta kata. Selama luka memburu dan
menjadikannya rasa duka, air mata berperan sebagai sebuah pertahanan. Selama
luka berkeliaran membagikan rasa duka, berjuta kata ku jadikan sebagai ungkapan
kekecewaan. Dan itu tidak banyak membantu, hanya sedikit memberikan ketenangan.
Coba
ku hitung berapa banyak kata yang bermaknakan duka, separuhkah? Sepertigakah?
Ah bodoh sebenarnya tak perlu ku hitung, sebab jari-jari yang ku milikipun tak
perlu banyak ku gunakan untuk mewakili kata yang bermaknakan kebahagiaan.
Lagi-lagi sungguh ironis. Jadi sudah berapa banyak luka yang ku timbun?
Angin
yang kurasakan dingin menyayat luka dalam jemari yang menemaniku malam ini.
Seandainya selimut benar-benar merangkulku, tidak perlu ku nyalakan bara api
tanpa tumpukan jerami. Dimanakah bumi yang bisa ku anggap bagaikan surga?
Mungkin disanalah luka dapat terkikis, hingga malam seperti pagi yang sejuk.
Katakan
sebait puisi malam ini untukku, apapun itu, meski kemungkinan terdapat kata
yang menggoyahkan air mata. Katakan, meski bermaknakan perpisahan. Tidak
peduli, karna akan ku biarkan luka menumpuk malam ini sehingga malam lain tak
perlu bercengkrama dengan rasa berduka.
Jika ombak mampu meluluh lantahkan
karang, kapan tibanya kebahagiaan mampu meleburkan kesedihan?
Luka
ini terlalu banyak mengepung imajinasi sehingga tak ku temukan kata yang
membuat duka berganti canda. Kata demi kata memaksa jemariku tuk menjadikannya
sebuah kalimat. Sehingga berakhir skenario yang membuat orang mengerti bahwa
terdapat luka didalam cerita.
Selama
usia yang mendekati kepala dua, ini masih ku anggap sebagai luka. Luka yang tak
ku ketahui bagian mana yang harus ku obati. Luka yang tak menampak namun begitu
sangat terasa dan itu menyakitkan.
Berjam-jam
kata luka menyeruak dalam imajinasiku. Sempat ku lihat mesin waktu, lalu ku
rebahkan tubuh kecil yang menopang rasa duka nan sendu.
Satu
menit, empat menit, tak sempat sepuluh menit terlintas sebuah kalimat yang
membangunkan tubuh kecilku, lalu kembali memaksa jemari mengetuk barisan huruf
yang membentuk kalimat yang ku maksud tadi.
“Terimakasih,
kau yang selalu ku jadikan inspirasi. Meski sebagian besar hanya luka yang kau
beri”
Comments
Post a Comment