Cerita Gabungan


Pandangan Pertama dan Terakhir

Satu hal yang paling tidak aku sukai yaitu pada saat menghadapi Ulangan Akhir Semester.

            Terbangun dari tidur malam dengan mata yang masih tertutup rapat ini selalu malas untuk membangunkan tubuh lemasku. Dengan suara alarm yang masih berdering itu membuat telinga seakan-akan merasakan kesal. Ditambah lagi dengan suara Ibu yang terus memanggil-manggil membuatku bangun dengan terpaksa.

            Ku lihat jam dinding dan ditariknya selimut hingga menutupi seluruh tubuhku, “Masih pukul 05.00, tidur dulu 10 menit.”

10 menit berlalu.

            Ibu kembali memanggilku dengan nada yang lebih keras dari sebelumnya, “Nda, cepat bangun!”

            Terpaksa dibukanya kembali selimut yang selalu menghangatkan tubuhku dan berjalan dengan kaki yang dipaksa harus mengantarkanku ke kamar mandi, “Iya-iya udah bangun ko mah.”

            Selesai aku membersihkan tubuh yang penuh keringat ini. Keluar dan berjalan dengan langkah semaunya. Namun, mata ini masih saja terus mengajakku untuk kembali berdiam diri pada sebuah tempat yang semalam tadi aku tempati. Ku tatap semua bantal dan selimut yang masih berserakan itu, dalam hatiku berkata “Hah rasanya ingin sekali aku melanjutkan mimpi indahku itu.” Tapi, mengingat jadwal sekolah saat ini seakan memaksa ku untuk membukakan mata.

            “Sial! Hari ini hari senin! Dan ulangan akhir semester!” ucapku dengan rasa kesal dan tidak senang.

            Lalu segera ku ambil tas yang selalu membawakan peralatan menulisku ke sekolah. Ku pakai jaket merah pemberian sahabatku dan tak lupa selalu ku lekatkan jam merah kecil di pergelangan tangan kecilku. Berpamitan lalu pergi dengan perasaan yang tidak senang itu selalu aku lakukan disaat waktu pergi sekolahku.

            “Aku pergi mah, assalamualaikum.”

            “Waalaikumsalam, hati-hati dijalan dan diberikan kemudahan mengerjakan soalnya Nda!” teriak Ibu.

Tiba tepat didepan gerbang sekolah.
       
        Dihembuskannya nafas pada saat turun dari motor Ayahku. Kaki yang malas membawaku untuk berjalan ini rasanya sulit untuk menghampiri gerbang sekolah yang kini berada tepat dihadapanku. Mata yang masih membutuhkan tidurpun terpaksa terbuka sambil melirikkan ke semua titik sudut yang terlihat. Ku buka jaket merahku, lalu berpamitan dengan Ayah.
         
          “Assalamualaikum.”
           
          “Waalaikumsalam, uang jajan gak lupa?” ucap Ayah.
             
           “Engga.” ku jawab pertanyaan itu dengan malas.
     
         Lalu ku langkahkan kaki, berjalan menelusuri lorong sekolah dengan bibir tanpa senyuman. “Pukul berapa sekarang? 07.00. Masih lama.” tanyaku dalam hati sambil melirikkan mata ke arah jam tangan merah. Dengan santai tatapan mata ini mengarahkan pada semua orang yang  sedang sibuk memegang buku tanpa membaca, orang yang sedang sibuk dengan konsentrasi penuh menghafalkan semua kalimat yang ada pada buku yang dipegangnya, bahkan orang-orang yang sedang bercanda menertawakan sebuah lelucon yang mereka hadirkan dari setiap percakapannya itu.
         
         Lama sekali aku berjalan, sehingga tidak sedikit orang yang ku temui pada saat akan menuju ruanganku. Saling menyapa satu sama lain disetiap pertemuan dengan teman-teman sekolah ataupun guru. Dengan terpaksa bibirku yang masih malas terbangun ini tersenyum penuh keakraban.
             
     Langkah ini tidak langsung mengantarkanku pada sebuah tempat dimana akan berlangsungnya ulangan akhir semester. Namun berbelok sedikit menuju ruangan yang bukan ruanganku. Dan ku langkahkan kaki melewati dua pintu yang terbuka. Ku lihat disekililing ruangan yang dipenuhi orang-orang yang sibuk berbincang membicarakan soal-soal ulangan akhir semester nanti. Ingin sekali aku sumbat bibir mereka dengan kertas yang mereka pegang itu. Muak rasanya mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Mereka terlalu serius menghadapi ulangan akhir semester, berbeda denganku yang santai tanpa membuka buku sedikitpun apalagi menghafalkan artian disetiap kata dibuku itu. Sangat tidak ingin ku temui mereka yang terlalu sibuk menghafalkan semua pelajaran itu.
          
           Akhirnya ku temukan mereka, mereka yang mempunyai kesamaan denganku ‘malas’, Fivie, Widya dan kawan-kawan yang lainnya. Berteriak memanggil nama mereka dengan semangat dan senyum yang melengkung ini mungkin kebiasaanku saat aku akan bertemu mereka, “Hai. Kaliaaaan!” Kaki ini melangkah menuju mereka yang sedang duduk santai saling berbincang. Seperti biasa setiap pagi kami selalu mengawali dengan sebuah kalimat yang saling mengistimewakan pria yang diidam-idamkan, atau mungkin bisa dibilang bergosip. Keadaanku yang tidak sempat duduk ini terus tertawa menceritakan seseorang dengan mereka.
        
         Lama sekali kami berbincang. Dengan tas yang masih tergantung dipundakku langsung mengarahkan mata yang semula layu ini tertuju pada jam tangan berwarna merah yang selalu melekat di tangan kecilku. “Sebentar lagi bel!” Semangat yang belum hadir pada kakiku untuk melangkah ini terpaksa membalikkan badan dan berjalan menuju ruangan yang pada seharusnya.

“Nanti kasih tau aku yah.” aku dan Fivie segera pergi dan meninggalkan orang-orang yang ada dikelas itu.
       
        Kembali aku harus berpisah dengan mereka. Kami memang masih berada dalam satu sekolah, tapi karna biasa berada dalam satu kelas rasanya cukup membuatku tidak nyaman bila harus berada ditempat yang berbeda dengan mereka. Namun, apa yang sudah sekolah perintah harus aku taati. Kaki ini kembali terpaksa untuk mencari tau dimana ruanganku. Tidak jauh. Kini pintu yang terbuka lebar itu aku temukan, ruangan yang seharusnya ku tempati. Cukup lama aku berdiam diantara pintu yang saling memisahkan itu.

“Aku duduk dimana? Siapa yang akan duduk di satu meja yang berisikan dua orang ini?” tanyaku pada Fivie yang sedang sibuk meraut pensilnya.

“Gak tau, orangnya belum dateng.” jawab Fivie.

Terlalu banyak yang harus aku cari saat ini. Ku sandarkan tubuhku yang sejak tadi berdiri ini pada sebuah kursi yang sebelumnya tidak pernah aku tempati. Diletakkannya tas selendang pada meja yang tidak ku kenal dan ku istirahatkan tangan lemas ini diatas tas sambil menggenggam ponsel diantara sepuluh jemariku. Sesekali ku lirikkan sudut mata ini ke semua orang yang ada di ruangan yang ku tempati. Banyak orang yang tidak aku kenal, mereka yang tidak aku kenali itu adik kelasku. Banyak sekali orang yang berlalu lalang, mengobrol, bahkan ada juga orang yang berteriak-teriak sehingga membuat telingaku seakan-akan menyuruhku untuk menutup mulutnya yang berisik itu.
        
        Lama sekali menunggu pengawas itu. Ku sempatkan kaki ini untuk berjalan ke luar ruangan. Tampak sepi, ulangan akhir semester benar-benar sudah dimulai. Ku lihat teman-teman yang ada disebelah ruanganku. Mereka sibuk menghitamkan bulatan-bulatan yang ada di LJK. Sedangkan orang-orang yang ada di ruangan yang aku tempati masih sibuk membahas obrolan mereka.

           Kembali ku masuki pintu yang saling memisahkan ini. Dan dia yang masih ku pertanyakan siapa yang akan duduk disampingku ini belum menampakkan wajahnya juga.

            “Aku gak duduk sendirian kan Fi?” tanyaku.

            “Tunggu aja, pasti dateng ko.” jawab Fivie.

            Semua ujung titik ruangan aku lihat untuk mencari tau siapa dia. Nihil. Belum ku temukan. Kembali ku mainkan ponsel yang sejak tadi ku genggam. Tiba-tiba mataku yang sudah lelah mencari tau ini seperti menyuruhku untuk melihat ke arah pintu yang membuka, pintu yang saling memisahkan itu. “Oh my God.” tersentak aku melihat seorang pria. Style nya yang terpampang jelas untuk ku lihat begitu memukau bagi mataku. Setiap langkahnya dan tatapan mata kepada teman-temannya itu begitu melemahkan hati.

            Satu langkah, dua langkah hingga lima langkahnya itu belum juga terhenti. “Apa dia?” aku tidak berani meliriknya apalagi menatapnya. Sisi mataku ini sedikit melihat bahwa dia berhenti tepat dimana aku duduk bersandarkan tubuh lemasku. Hah lagi-lagi hati ini melemah. Dia yang bernama Adit kini berada disampingku. Dia seperti tidak mempunyai keinginan untuk menatapku sedikitpun. Satu huruf apalagi satu kata itu tidak terdengar olehku atau mungkin dia memang tidak berkata apapun. Aku hanya duduk santai dengan jemari yang saling dipertemukan dan dipisahkan kembali itu aku lakukan berulang-ulang, seakan-akan getaran yang menyesakkan hati ini tidak pernah terjadi. Diantara kami tidak ada sedikitpun suara. Saling menyibukkan diri sendiri seperti orang yang saling tidak mengenal. Ya aku dan dia memang pertama kali bertemu pada saat ini, hari ini, hari pertama berlangsungnya ujian akhir semester.

            Kini pengawas yang tidak pernah ku harapkan itu tepat berada didepan ruanganku, sambil menanyakan, “Ruangan 3?”

            Seperti pada umumnya, semua guru pasti menyuruh semua siswa-siswinya untuk menyimpan tas didepan kelas. Sambil menunggu semua orang yang berdesakan untuk menyimpan tas itu, aku masih santai duduk berdiam dengan mata yang mencuri-curi waktu untuk sedikit melihat wajahnya yang sejak pertama muncul dihadapan mataku yang selalu melemahkan hati itu. Ah sialnya aku tidak pernah memergoki dia sedang melihatku.

            Ku ambil tasku dan berjalan kedepan menyimpan tas. Ku balikkan badanku, dan mata ini berhasil melihat dia yang juga melihatku. Aaaaaaaa rasanya aku ingin pergi keluar ruangan dan berteriak sekencang-kencangnya.

            Kembali kusandarkan punggungku ini tanpa rasa ragu. Helaan nafas yang begitu banyak mengeluarkan karbondioksida ini mengawali semua kegiatanku untuk menghadapi soal ujian yang akan dibagikan pengawas. Ku keluarkan semua peralatan perangku untuk melawan semua pertanyaan yang ada di dalam soal itu.  Dan kali ini aku tidak berani mempermainkan ponsel, pensil runcing inilah yang ku permainkan untuk menyembunyikan semua getaran yang ada dihati ini.

            Bel istirahat pun terdengar olehku. Langsung saja aku berjalan keluar ruangan untuk menemui teman-teman yang berada disebelah ruangan.

            “Kalian harus tau! Orang yang duduk semeja sama Nda itu cowo terganteng di kelas XI!”

            “Wah masa? Tunjukkin dong!” Widya langsung menatap ke arah ruanganku.

            Ku ajak mereka ke ruanganku untuk menunjukkin siapa dia. Ujung bola mata ini langsung saja tertuju kepada sosok pria berkulit putih dengan tinggi yang proposional. “Gila itu cowo bikin habis kata aja.” hati ini berdesir ketika bibir merahnya melengkungkan sebuah senyuman.

            “Itu cowo yang itu!” ku bisikkan pada Widya

            “Mana sih? Gak keliatan, tunjukkin!”

            “Jangan ih, nanti kalau keliatan lagi nunjuk-nunjuk gimana?”

            “Yang itu? Ganteng dong. Putih lagi, kalah putihnya kamu juga.”

           Sepertinya setiap orang yang melihat dia, tidak akan pernah ada yang menyatakan bahwa dia itu jelek.

            “Ah dia memang ganteng banget, idaman deh pokoknya.” aku tidak berhenti untuk terus mengaguminya dalam hati.

Ulangan akhir semester pun usai.
   
         Senyumnya, dan sapaan halus itu tak pernah tampak lagi. Lagi-lagi hati ini berkecamuk, “Aku rindu dia? Tidak mungkin. Nda gak boleh rindu sama dia, dia bukan siapa-siapa kamu, ingat!” Tapi nyatanya aku memang merindukan dia. Rindu pada saat dia membawakan kertas LJK ku yang terjatuh. Rindu pada saat dia meminjam Tipe-x. Aku rindu segala perilakunya.

               Apa yang terjadi hari ini merupakan suatu kenyataan. Merindukan bukanlah suatu pengharapan. Karna apa yang aku harapkan merupakan keberadaannya yang selalu ada menemani. Dan rindu ini begitu cepat menjalar. Suatu rindu yang entah kapan bisa tersampaikan. Bosan dengan sebuah rindu yang hanya tersampaikan dengan sebuah kalimat. Bosan dengan sebuah rindu yang hanya tersampaikan dengan sebuah lirik nyanyian. Bosan dengan apa yang aku pendam sekarang. Sulit menyampaikan kerinduan, menyiksa perasaan dan pikiran yang ada. Berusaha mengungkapkan tetapi tiada keberanian. Berusaha berbicara secara langsung mengatakan apa yang aku pendam itu sulit. Rasanya kaki ini terlalu layuh untuk aku langkahkan, melangkah menemuinya dan mengatakan sejujur-jujurnya.  Seperti terserang kelumpuhan sehingga sulit berjalan. Mulut ini terlalu bisu untuk mengucapkan sebuah kata rindu dihadapannya. Terlalu lemah untukku. Tidak ada keberanian untuk mengucapakan satu kata itu.

            Gila. Jika harus berkata sendiri. Berbicara berkata mengutarakan perasaan kepada diri sendiri. Tidak cukupkah aku disebut gila, bila setiap hari aku harus terus tidur larut hanya untuk mendapatkan suatu pesan kerinduan. Setiap detik, setiap menit, mungkin berhari-hari aku terus menatap sebuah layar ponsel yang sudah seperti tidak ada kegunaannya. Rindu yang lama terpendam ini berkarat, seperti besi yang lama tersimpan dan tidak dipergunakan. Rindu yang tidak tersampaikan ini basi, seperti makanan yang didiamkan begitu lama.

Berlanjutnya acara Pekan Olahraga Antar Kelas (PORAK)

       Bayangan yang biasa ku bayangkan itu sedikit menghilang ketika ku temui mereka, teman-teman yang selalu membuatku bahagia. Aku yang terlalu sibuk memberi semangat teman-teman sekelaspun tidak menyadari siapa orang yang sedang bermain bola.

            “Nda liat siapa yang pake baju warna merah?” Fivie menunjuk kepada salah seorang yang ada dilapangan.

            “Siapa? Dimana ih?”

            “Itu yang lagi main bola.”
          
             “Wasit itumah, kenapa?”
        
             “Bukan ih. Itu cowo yang duduk semeja sama kamu.”
     
       Kaget setengah mati ketika melihat dia memakai baju ketat dan celana pendeknya. Badannya yang tinggi dan atletis serta sorot matanya yang tajam itu selalu membuatku terpana, “Astagfirulloh maco banget itu cowo.”

            Ketampanannya yang tampak melibihi batas maksimum itu hanya bisa ku pandangi dari atas bangunan. Ucapan semangatku yang tertuju kepadanya ini tidak berani ku ucapkan didepan matanya. Aku hanya berharap dia bisa menyempatkan waktunya untuk sedikit memandangku. Namun harapan itu mungkin hanya sebuah harapan belaka. “Itu tidak mungkin terjadi Nda.” hati ini mulai menasehati ku. Konsentrasi ku semuanya benar-benar tertuju kepada dia yang sedang bermain bola, sehingga aku tersadar begitu lamanya aku memandangi dia. Namun mata ini kembali mencari celah untuk memandangi semua tingkah lakunya itu.

“Kamu suka sama dia Nda?” tanya Widya disaat aku terus memandang Adit.

“Hah gak tau deh, kenapa memangnya?” jawabku sontak mendengar pertanyaan Widya.

“Jangan suka sama dia deh, udah punya cewe itu orang.” dengan tenangnya Widya memberitahuku tentang hubungannya Adit.

Mendengar pernyataan itu membuatku merasakan sesuatu yang mengganjal dalam hati. Sulit ku terima dengan apa yang ku dengar tadi. “Memang seharusnya kamu gak suka sama dia. Salah, semuanya salah dari awal.”  logika ini terus membuatku merasakan penyesalan, membuatku lemah tak berdaya. Aku hanya bisa berdiam tanpa sepatah kata yang keluar dari bibirku. Mungkin inilah yang harus terjadi. Aku harus mengalami sebuah penyesalan dengan rintihan rasa kesakitan. Ini memang bukan yang pertama aku mengalami hal seperti ini. Namun entahlah rasanya semua itu tidak aku jadikan sebagai suatu pembelajaran. Aku benar-benar mencintainya. Tapi, kali ini aku melihat semua kenyataan itu. Kenyataan yang menyakitkan. Tergores luka yang tidak mengeluarkan darah sedikitpun itu lebih menyakitkan. Aku yang merasakan. Aku yang mengalami tak kuasa meyakinkan semua ini. Semuanya hancur, punah, pilu. Secepatnya aku ingin pergi dari semua cerita ini, terlebih aku ingin pergi dari kehidupan yang menyakitkan ini. Sesal, tangis, sia-sia semua itu benar-benar ku rasakan. Kini, luka ini, kembali menghampiri. Semua luka harus ku alami disetiap dimensi hidupku. Aku tak ingin merasakan sakit seperti ini, tapi juga tidak bisa menolak.

Malampun menghampiri, dan aku hanya bisa memandangi sebuah layar ponsel. Berharap seseorang bisa membuatku tertawa, membuatku melupakan semua kenyataan yang tadi siang ku dengar.

“Nda, kamu gak apa-apakan?” pesan dari Fivie itu seolah-olah mempertanyakan keadaan hatiku.

“Maksud kamu apasih? Baik-baik aja ko.” balasku. Hati ini terlalu tangguh, selalu berpura-pura tegar tapi pada nyatanya hancur dengan segala kebimbangan. Apa yang dikatakan hati dan apa yang diucapkan oleh bibirku selalu berbeda.

“Jangan bohongin hati gitu deh. Dari pulang sekolah kamu murung terus gak kaya sebelumnya.”

“Beneran gak apa-apa ko Fi. Cuma gak enak badan aja, mungkin gara-gara terlalu semangat ngedukung anak kelas.” sekali lagi ku yakinkan Fivie. Aku tidak bisa jujur. Aku selalu berbohong, tepatnya membohongi semua perasaanku. Yang ada hanya kabut penuh misteri.

“Yaudah deh, semangat yah.”

Kali ini aku berusaha untuk menepis semua bayangannya. Tidak ingin ku ingat kembali semua tingkah lakunya.

1 bulan berlalu.

Mengingat masa lalu itu sungguh sangat suram, seperti stasiun televisi yang tidak siaran. Sangat bodoh jika harus menunggu seseorang yang tidak pernah memperdulikanku. Dan itu dulu sebelum aku turut melaksanakan apa yang dikatakan semua logika ku. Bila harus dilihat dari arah jarum jam mungkin setiap saat aku menyebut namanya dengan sebuah pengharapan. Menangis setiap malam itu yang aku lakukan pada saat itu. Terlalu gila, seperti terpengaruhi setan agar terus menangis sehingga tiada senyuman yang ku berikan kepada semua orang. Selalu terpaku kepada layar ponsel, mengharap mendapatkan sebuah pesan dengan sebuah kalimat “I Love You”. Tapi apa yang terjadi? Selalu saja membisu. Mungkin dulu perasaan ini terlalu mengekang logika ku. Sehingga sulit untuk menyadarkan diri. Terlalu lemah bila harus melupakan dia yang tidak pernah sedikitpun untuk memandangku.

Waktu memang cepat berlalu, begitu juga perasaan ini. Perasaan yang selalu mengharapkan seseorang yang seperti tuli karna selalu tidak mendengar ucapan harapanku. Seseorang yang seperti bisu karna selalu diam dengan bibir rapat tertutup, tidak berbicara, tidak menjawab semua pertanyaan tentang harapanku. Seseorang yang seperti bodoh karna selalu tidak mengerti dengan apa yang aku katakan, selalu tidak paham dengan apa yang aku harapkan. Seseorang yang seolah-olah tidak ada suatu kejadian. Tidak peduli. Dihiraukan. Perasaan ini berlalu dengan perlahan. Ya walaupun waktunya butuh berminggu-minggu. Tapi setidaknya aku bisa melupakan dia.

Senang? Tentu. Rasanya damai, bisa tertawa lepas tanpa bayangan kedukaan setiap malam. Melihat layar ponsel pun bukan mengharapkan pesan dari seorang pria yang begitu tangguh merasa dirinya paling hebat.

Rasanya dunia memang benar-benar indah. Hujan gelappun rasanya tetap indah. Memukau bila harus melihat pelangi memancarkan sinar warna. Seperti membuka hati yang sebelumnya tertutup rapat. Membuka dengan pancaran sinar, dengan sebuah senyuman yang benar-benar nyata, senyuman tanpa kesedihan. Bebas melangkah berjalan disetiap bebatuan yang memberikan jalan kehidupan menuju kebahagiaan nyata. Bebas berkata tapi bukan namanya. Seperti mendapatkan sebuah berlian didalam cangkang kacang. Bahagia sekali. Logika ini benar. Melupakan seseorang yang selalu memberikan sakit dihati, merusak semua saraf di hati, menghancurkan memory yang tersimpan di pikiran dengan sedih yang terus mengadu itu sangat menyenangkan. Logika membuat hidup kembali beraksi. Beraksi dengan semangat yang membara untuk memperbaiki apa yang sebelumnya pernah dilakukan di masa lalu. Logika membuat perasaan kembali utuh. Membuat darah mengalir disetiap alirannya dengan kelancaran tanpa hambatan. Seperti memakai hati perasaan baru karna tidak merasakan sakit lagi. Seperti memakai sebuah rekaman kosong yang isinya hanyalah kebahagiaan.

Move on? Kenapa tidak? Itu  mudah bila memang ada niat dan ada seseoarang yang bisa membantu untuk melupakan.

Hari pertama masuk sekolah.

Kali ini aku resmi menjadi siswi kelas XII. Dan pada saat ini pula aku sering bertemu dengannya. Terkadang aku dan dia saling bertegur sapa ataupun tersenyum bila bertemu. 1 minggu yang lalu dikabarkan bahwa dia tidak lagi menjalin hubungan dengan pacarnya itu. Dan itu tidak menyurutkan niatku untuk kembali mencintainya. Aku benar-benar sudah melupakan dia.

Semakin sering aku bertemu dia, dan aku semakin merasakan keanehan pada dirinya.

Tatapannya yang kosong itu tidak pernah bisa membuatku untuk mengartikan cinta. Aku yang tidak pernah lagi memikirkannya dalam setiap waktu luangku, hadir begitu saja dalam setiap mimpi malamku. Sapaan halus yang dia hadirkan dalam setiap pertemuan singkat hanya ku anggap sebagai sebuah simbol pertemanan yang tidak lebih dari sebuah harapan untuk saling memadukan sebuah hati kosong tanpa berisikan seseorang yang dicintai. Senyum yang menghiasi setiap garis guratan bibirnya itu tidak pernah menyadarkanku, selalu beranggapan hanya sebuah senyuman yang selalu hadir disetiap pertemuan seorang teman biasa.

Berawal dari perhatiannya yang secara tiba-tiba. Kejadian yang seharusnya tidak aku ingat masih tersimpan dalam memoryku, pada saat aku membuat status di sebuah jejaring sosial twitter  “Pusing”. Dengan cepatnya, tidak lebih dari 5menit dia membalas dan seolah-olah ingin tau keadaanku “kenapa?”. Pertanyaan itu terasa berbeda. Aku yang sedang duduk santai memainkan laptopku di sebuah panggung sekolah langsung mengarahkan mata ini pada sebuah tempat dimana dia belajar. Aku seperti merasakan ada suatu keganjalan pada pertanyaan itu. Apa yang aku rasakan sama seperti orang yang sedang mengalami jatuh cinta “berdebar”. Tapi itu hanya sesaat. Aku menganggap itu hanya pertanyaan biasa. Hanya sebuah perhatian yang selalu dia berikan kepada teman-temannya. Memberi perhatian kepada seseorang bukan berarti cinta kan.

Selanjutnya apa yang terjadi? Dia meminta nomor handphone ku. Ah rasa keanehan itu muncul lagi. Karena aku menganggap dia teman langsung saja aku berikan nomor handphone ku. Aku kira dia akan langsung memberi ku pesan singkat atau menghubungi ku. Tapi ternyata tidak. “Rasa percaya diri kamu terlalu tinggi Nda.” logikaku menertawakan. Kami bercakap-cakap melalui direct message. Dan dia memberitahuku kalau dia tidak mempunyai pulsa untuk menghubungiku. Aku sih hanya beranggapan “Ya terus kenapa kalau tidak menghubungiku? Masalah emangnya.”

Cukup lama Aku dan dia bercakap. Saling membalas pertanyaan yang kami lontarkan. Tawa canda dan kesal kami hadirkan dalam percapakan itu. Seperti biasa, selalu menganggap perhatian itu sebagai perhatian kepada teman biasa. Tidak pernah berpikir dia sedang mendekatiku, apalagi berpikir lebih bahwa dia mencintaiku. Itu tidak pernah terpikirkan. Terlalu angkuh bila aku berpikir dia mencintaiku. Tanpa bukti dan pernyataan bukankah itu tidak bisa menunjukkan adanya rasa cinta?

Jarum jam terus berputar. Roda kehidupan terus berlanjut dengan keadaan bumi yang tidak pernah berhenti berputar. Dan perhatian yang begitu nyata telah aku rasakan. Perhatian yang berubah menjadi sebuah pengharapan. Dia menunjukkan rasa keinginannya untuk bisa bersamaku. Tidak ada perubahan, aku terus menganggap itu hanya sebuah lelucon. Perhatiannya, setiap kalimat yang dia tuliskan semakin menjadi-jadi. Rasa bingung pun datang menghampiri dengan cepatnya. Apa yang terjadi pada saat itu benar-benar tidak bisa disangka. Apa ini yang dinamakan karma?

Pertanyaan yang dia berikan padaku bukankah itu terlalu cepat untuk dipertanyakan? 2hari untuk pendekatan bukankah itu terlalu lambat untuk bisa saling memahami sifat dan karakter satu sama lain. Benar-banar tidak bisa dipercaya dengan apa yang dia katakan. Pembuktian rasa cintanya yang terlalu singkat itu tidak bisa membuatku percaya begitu saja. “Apa dia sedang mempermainkanku dengan sebuah perkataan cinta?” hati dan logikaku kembali beradu.

Bingung harus menjawab apa. Kata ‘Iya’ yang ingin aku katakan rasanya sulit untuk aku ungkapkan disaat aku sudah melupakannya. Terlalu banyak kebimbangan. Terkadang hati ini bisa menerima tetapi kemudian bisa jadi menolak. Bagaimana bisa aku mengambil alih hatinya yang justru aku malah berusaha untuk melupakannya. Hati ini terlalu angkuh untuk menolakmu, seorang pria yang selama ini aku idam-idamkan.

Sesak rasanya. Semua memory ingatanku bersama dia kembali hadir, disaat mengetahui bahwa dia sudah mempunyai kekasih. “Apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah kamu sudah melupakan dia kan Nda?” logika kembali mengingatkanku. Disaat seperti ini mengapa dengan mudahnya kenangan yang sudah terkubur dalam kembali berontak dalam sebuah ingatanku. Kenangan itu benar-benar tidak bisa aku hindari. Kenangan menyakitkan itu terlalu cepat menjalar dalam setiap tetesan darah yang mengalir ke semua sudut jaringan sistem tubuhku. “Lantas apa yang harus aku lakukan?” teriak ku dalam hati. Semua yang aku rasakan kini tidak bisa diartikan dengan sebuah ungkapan kata atau sebuah lirik lagu yang diciptakan.

Tidak bisa berfikir apalagi menjawab pertanyaannya. Sulit untuk memilih apalagi untuk berkata “Iya”. 24 jam yang ku miliki tidak bisa memastikan sebuah jawaban “Iya atau Tidak”. Keyakinanmu semakin membuatku bingung. Logikaku pada saat itu bisa mengalahkan perasaan yang selalu menolak untuk menerima cinta yang lain. Kata “Iya” yang pada saat itu selalu tersingkirkan kini tertulis pada sebuah pesan yang akan aku sampaikan padanya sebagai sebuah jawaban dari semua pertanyaan yang  pada saat malam itu dia pertanyakan.

2 bulan sudah aku menjalin hubungan dengannya, Adit.

Setiap ucapannya itu selalu aku simpulkan bahwa dia memang benar-benar mencintaiku. Berkata lembut penuh kemesraan selalu hadir disetiap percakapan. Terdengar merdu setiap kata yang keluar dari bibir indahnya yang selalu menghadirkan sebuah senyuman yang selalu ku ingat. Damai terasa setiap pujian yang dia berikan. Kata-kata manis dan tingkah laku manja selalu membuatku percaya. Tidak ada pikiran buruk. Selalu beranggapan baik. Selalu percaya seakan-akan cintanya tulus dan tak bernoda. Disaat dia hilang pun selalu beranggapan “Ah, mungkin dia sedang sibuk”.

Semuanya sungguh terasa indah. Terasa sempurna antara ucapan dan perlakuan yang selalu dia berikan. Sehingga terbius dan selalu mengharapkan kehadirannya yang terlewat batas memberikan ketenangan dan kedamaian hati. Rasanya seperti dibutakan. Rasa bahagia yang selalu dia berikan membuat air  mata ini tidak pernah hadir melewati setiap guratan pipi. Janji yang diucapkan membuat kepercayaan ini selalu melekat. Janji bersama, selalu berdua dan tidak pernah meninggalkan. Selalu menjalin dengan cinta yang benar-benar nyata.

Sungguh mesra. Terbit matahari hingga terbenamnya matahari rasa cinta yang dia tunjukkan benar-benar terasa dibenak hati. “Apa yang harus diragukan?” terkadang hati ini selalu berucap. Dia selalu memberi kabar baik. Tidak pernah meninggalkan. Selalu ada menemani disetiap berdetaknya denyutan jantung yang masih hidup ini. Aku benar-benar merasakan ketenangan menjalin hubungan dengannya.

Tapi…… Apa yang terjadi saat ini? Semuanya berbeda. Tidak lagi sama dengan apa yang pernah terjadi sebelumnya. Hilang. Rasanya tenggelam terbawa arus gelombang. Lenyap. Tidak menyangka. Sangat tidak menyangka. Seakan-akan seperti matahari terbenam selamanya.

Dan kini semuanya terasa setelah Tuhan memisahkan. Memisahkanku dengan dirinya yang tidak lagi menjadi kita. Memisahkan dia dariku, dia yang benar-benar aku cintai. Berpisah jauh berbeda keberadaan. Perbedaan yang bukan hanya sekedar perbedaan. Perbedaan ini bukanlah perbedaan tempat yang mungkin hanya berbeda jarak beberapa kilometer. Perbedaan tempat yang bukan seperti bumi dan luar angkasa.

Sedih jika harus menerima kenyataan. Kenyataan antara aku dan dia yang berada di alam berbeda. Sebuah perbedaan yang sulit untuk disamakan. Perpisahan yang nyata tidak akan pernah kembali bersama.

Seandainya aku bisa menawar kepada Tuhan, aku lebih meminta dijauhkan darinya hanya beberapa kilometer saja. Tidak seperti ini, dijauhkan yang tidak bisa dianalisis berapa kilometer jauhnya. Tidak seperti suatu hubungan jarak jauh yang pada suatu saat akan bertemu pada suatu tempat yang sama.

Apa yang aku rasakan sekarang? Sedih? Sakit? Tidak, jika aku tidak mencintainya.

Kehilangannya bukanlah yang aku harapkan. Tapi mengingat keESAan Tuhan bukanlah sebuah lawanan. Mengharapkannya yang telah pergi untuk kembali bersama di dunia sangat tidak mudah. Tidak seperti mengharapkannya kembali pada saat kau pergi ke suatu kota. Mengharapkannya kembali tidak sama seperti mengharapkan suatu barang yang diidam-idamkan. Perbedaan harapan yang sangat drastis bedanya.

Apa yang sekarang aku lakukan? Tertawa bahagia setelah mengetahui hal itu? Iya, jika aku tidak menyanyanginya.

Bibir ini terlalu bisu untuk berkata. Jari-jari ini seperti terserang kram yang sama sekali tidak bisa digerakkan. Mata terbuka tapi entah tatapannya menuju ke arah mana. Seperti kosong dan tanpa arah tujuan. Telinga ini masih berfungsi tapi tidak bisa mendengar apa yang dibicarakan orang. Seperti tuli tapi tidak. Hidung ini masih bernafas, menghirup oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida. Tapi rasanya sesak, sangat sesak. Seperti terserang asma.

Jantung ini masih berdetak. Tapi, apakah dia mengalami hal yang sama sepertiku?

Duduk terdiam. Menatap dengan tatapan kosong. Berbicara terbata-bata tapi otak tidak bisa mencerna dengan apa yang diucapkan.

Melihat dia terbaring sekarang tidak sama seperti sebelumnya pada saat melihat dia terbaring dipangkuanku dengan senyuman manis yang terhadir dibibirnya. Melihat dia, menatap sesosok wajah seseorang yang sangat aku cintai, disayangi, diam dengan detakan jantung yang tidak lagi berfungsi. Wajah pucat menampakkan ketiadaannya. Tidak bernyawa, tidak sama seperti orang-orang yang menangisi kepergiannya.

Aku tidak ingin mengalami suatu kejadian ini. Tapi apa yang bisa aku lakukan? Menolak dengan kemarahan itu sama saja menentang Tuhan. Tidak ingin tetapi tidak bisa menolak. Berlutut memohon dengan sebuah harapan besar pun rasanya tidak ada artinya. Kematiannya sudah digarisi Tuhan pada saat itu. Menangis darahpun itu tidak bisa memberikan kajaiban untuk dia kembali terhadap kenyataan.

Aku tidak tau. Sangat tidak tau. Menangis yang ada. Seperti orang gila jika harus tertawa melihat orang yang dicintai tiada. Rasanya tidak ingin mengingat kembali sebuah kejadian lampau bersamanya. Sebuah canda tawa, kemarahan, perhatian, rasa kesal, kebahagiaan yang selalu menyelimuti hubunganku dengannya. Ini seperti saatnya sebuah rekaman masa lalu kembali berputar berulang-ulang dalam sebuah ingatan. Menjadikan air mata tangisan terus membanjiri, mengalir, melewati setiap guratan pipi. Isak tangis yang membuat jantung terasa sesak dengan ketidakterimaan terhadap kenyataan ini.

Tidak ingin. Jangan pernah tinggalkan aku………………… Jangan pergi. Jangan menjauh. Tetap disini bersamaku. Datanglah kembali untuk mengusap air mata ini. Jangan kau berpaling. Aku sangat membutuhkan dirimu yang bisa membuat tangisan ini menjadi senyuman. Peluklah aku. Buatlah aku tenang dengan suara alunan melodi yang kau mainkan dihadapanku. Nyanyikanlah sebuah lagu didepan mataku, yang bisa membuat kesakitan ini menjadi kebahagiaan nyata.
Aku mohon.
 

Comments

Instagram