Cerita Gabungan
Pandangan Pertama dan Terakhir
Satu hal yang paling tidak
aku sukai yaitu pada saat menghadapi Ulangan Akhir Semester.
Terbangun dari tidur malam dengan
mata yang masih tertutup rapat ini selalu malas untuk membangunkan tubuh
lemasku. Dengan suara alarm yang masih berdering itu membuat telinga
seakan-akan merasakan kesal. Ditambah lagi dengan suara Ibu yang terus
memanggil-manggil membuatku bangun dengan terpaksa.
Ku lihat jam dinding dan ditariknya
selimut hingga menutupi seluruh tubuhku, “Masih pukul 05.00, tidur dulu 10
menit.”
10 menit berlalu.
Ibu kembali memanggilku dengan nada
yang lebih keras dari sebelumnya, “Nda, cepat bangun!”
Terpaksa dibukanya kembali selimut
yang selalu menghangatkan tubuhku dan berjalan dengan kaki yang dipaksa harus
mengantarkanku ke kamar mandi, “Iya-iya udah bangun ko mah.”
Selesai aku membersihkan tubuh yang
penuh keringat ini. Keluar dan berjalan dengan langkah semaunya. Namun, mata
ini masih saja terus mengajakku untuk kembali berdiam diri pada sebuah tempat
yang semalam tadi aku tempati. Ku tatap semua bantal dan selimut yang masih
berserakan itu, dalam hatiku berkata “Hah rasanya ingin sekali aku melanjutkan
mimpi indahku itu.” Tapi, mengingat jadwal sekolah saat ini seakan memaksa ku
untuk membukakan mata.
“Sial! Hari ini hari senin! Dan
ulangan akhir semester!” ucapku dengan rasa kesal dan tidak senang.
Lalu segera ku ambil tas yang selalu
membawakan peralatan menulisku ke sekolah. Ku pakai jaket merah pemberian
sahabatku dan tak lupa selalu ku lekatkan jam merah kecil di pergelangan tangan
kecilku. Berpamitan lalu pergi dengan perasaan yang tidak senang itu selalu aku
lakukan disaat waktu pergi sekolahku.
“Aku pergi mah, assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam, hati-hati dijalan
dan diberikan kemudahan mengerjakan soalnya Nda!” teriak Ibu.
Tiba tepat
didepan gerbang sekolah.
Dihembuskannya nafas pada saat turun
dari motor Ayahku. Kaki yang malas membawaku untuk berjalan ini rasanya sulit
untuk menghampiri gerbang sekolah yang kini berada tepat dihadapanku. Mata yang
masih membutuhkan tidurpun terpaksa terbuka sambil melirikkan ke semua titik
sudut yang terlihat. Ku buka jaket merahku, lalu berpamitan dengan Ayah.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam, uang jajan gak
lupa?” ucap Ayah.
“Engga.” ku jawab pertanyaan itu
dengan malas.
Lalu ku langkahkan kaki, berjalan
menelusuri lorong sekolah dengan bibir tanpa senyuman. “Pukul berapa sekarang?
07.00. Masih lama.” tanyaku dalam hati sambil melirikkan mata ke arah jam
tangan merah. Dengan santai tatapan mata ini mengarahkan pada semua orang yang sedang sibuk memegang buku tanpa membaca,
orang yang sedang sibuk dengan konsentrasi penuh menghafalkan semua kalimat
yang ada pada buku yang dipegangnya, bahkan orang-orang yang sedang bercanda
menertawakan sebuah lelucon yang mereka hadirkan dari setiap percakapannya itu.
Lama sekali aku berjalan, sehingga
tidak sedikit orang yang ku temui pada saat akan menuju ruanganku. Saling
menyapa satu sama lain disetiap pertemuan dengan teman-teman sekolah ataupun
guru. Dengan terpaksa bibirku yang masih malas terbangun ini tersenyum penuh
keakraban.
Langkah ini tidak langsung
mengantarkanku pada sebuah tempat dimana akan berlangsungnya ulangan akhir
semester. Namun berbelok sedikit menuju ruangan yang bukan ruanganku. Dan ku
langkahkan kaki melewati dua pintu yang terbuka. Ku lihat disekililing ruangan yang
dipenuhi orang-orang yang sibuk berbincang membicarakan soal-soal ulangan akhir
semester nanti. Ingin sekali aku sumbat bibir mereka dengan kertas yang mereka
pegang itu. Muak rasanya mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Mereka terlalu
serius menghadapi ulangan akhir semester, berbeda denganku yang santai tanpa
membuka buku sedikitpun apalagi menghafalkan artian disetiap kata dibuku itu.
Sangat tidak ingin ku temui mereka yang terlalu sibuk menghafalkan semua
pelajaran itu.
Akhirnya ku temukan mereka, mereka
yang mempunyai kesamaan denganku ‘malas’, Fivie, Widya dan kawan-kawan yang
lainnya. Berteriak memanggil nama mereka dengan semangat dan senyum yang
melengkung ini mungkin kebiasaanku saat aku akan bertemu mereka, “Hai.
Kaliaaaan!” Kaki ini melangkah menuju mereka yang sedang duduk santai saling
berbincang. Seperti biasa setiap pagi kami selalu mengawali dengan sebuah
kalimat yang saling mengistimewakan pria yang diidam-idamkan, atau mungkin bisa
dibilang bergosip. Keadaanku yang tidak sempat duduk ini terus tertawa
menceritakan seseorang dengan mereka.
Lama sekali kami berbincang. Dengan
tas yang masih tergantung dipundakku langsung mengarahkan mata yang semula layu
ini tertuju pada jam tangan berwarna merah yang selalu melekat di tangan
kecilku. “Sebentar lagi bel!” Semangat yang belum hadir pada kakiku untuk
melangkah ini terpaksa membalikkan badan dan berjalan menuju ruangan yang pada
seharusnya.
“Nanti
kasih tau aku yah.” aku dan Fivie segera pergi dan meninggalkan orang-orang
yang ada dikelas itu.
Kembali aku harus berpisah dengan
mereka. Kami memang masih berada dalam satu sekolah, tapi karna biasa berada
dalam satu kelas rasanya cukup membuatku tidak nyaman bila harus berada
ditempat yang berbeda dengan mereka. Namun, apa yang sudah sekolah perintah
harus aku taati. Kaki ini kembali terpaksa untuk mencari tau dimana ruanganku.
Tidak jauh. Kini pintu yang terbuka lebar itu aku temukan, ruangan yang
seharusnya ku tempati. Cukup lama aku berdiam diantara pintu yang saling
memisahkan itu.
“Aku
duduk dimana? Siapa yang akan duduk di satu meja yang berisikan dua orang ini?”
tanyaku pada Fivie yang sedang sibuk meraut pensilnya.
“Gak
tau, orangnya belum dateng.” jawab Fivie.
Terlalu
banyak yang harus aku cari saat ini. Ku sandarkan tubuhku yang sejak tadi
berdiri ini pada sebuah kursi yang sebelumnya tidak pernah aku tempati.
Diletakkannya tas selendang pada meja yang tidak ku kenal dan ku istirahatkan
tangan lemas ini diatas tas sambil menggenggam ponsel diantara sepuluh
jemariku. Sesekali ku lirikkan sudut mata ini ke semua orang yang ada di
ruangan yang ku tempati. Banyak orang yang tidak aku kenal, mereka yang tidak
aku kenali itu adik kelasku. Banyak sekali orang yang berlalu lalang,
mengobrol, bahkan ada juga orang yang berteriak-teriak sehingga membuat
telingaku seakan-akan menyuruhku untuk menutup mulutnya yang berisik itu.
Lama sekali menunggu pengawas itu.
Ku sempatkan kaki ini untuk berjalan ke luar ruangan. Tampak sepi, ulangan
akhir semester benar-benar sudah dimulai. Ku lihat teman-teman yang ada
disebelah ruanganku. Mereka sibuk menghitamkan bulatan-bulatan yang ada di LJK.
Sedangkan orang-orang yang ada di ruangan yang aku tempati masih sibuk membahas
obrolan mereka.
Kembali ku masuki pintu yang saling
memisahkan ini. Dan dia yang masih ku pertanyakan siapa yang akan duduk
disampingku ini belum menampakkan wajahnya juga.
“Aku gak duduk sendirian kan Fi?”
tanyaku.
“Tunggu aja, pasti dateng ko.” jawab
Fivie.
Semua ujung titik ruangan aku lihat
untuk mencari tau siapa dia. Nihil. Belum ku temukan. Kembali ku mainkan ponsel
yang sejak tadi ku genggam. Tiba-tiba mataku yang sudah lelah mencari tau ini
seperti menyuruhku untuk melihat ke arah pintu yang membuka, pintu yang saling
memisahkan itu. “Oh my God.” tersentak aku melihat seorang pria. Style nya yang
terpampang jelas untuk ku lihat begitu memukau bagi mataku. Setiap langkahnya
dan tatapan mata kepada teman-temannya itu begitu melemahkan hati.
Satu langkah, dua langkah hingga
lima langkahnya itu belum juga terhenti. “Apa dia?” aku tidak berani meliriknya
apalagi menatapnya. Sisi mataku ini sedikit melihat bahwa dia berhenti tepat
dimana aku duduk bersandarkan tubuh lemasku. Hah lagi-lagi hati ini melemah.
Dia yang bernama Adit kini berada disampingku. Dia seperti tidak mempunyai
keinginan untuk menatapku sedikitpun. Satu huruf apalagi satu kata itu tidak
terdengar olehku atau mungkin dia memang tidak berkata apapun. Aku hanya duduk
santai dengan jemari yang saling dipertemukan dan dipisahkan kembali itu aku
lakukan berulang-ulang, seakan-akan getaran yang menyesakkan hati ini tidak
pernah terjadi. Diantara kami tidak ada sedikitpun suara. Saling menyibukkan
diri sendiri seperti orang yang saling tidak mengenal. Ya aku dan dia memang
pertama kali bertemu pada saat ini, hari ini, hari pertama berlangsungnya ujian
akhir semester.
Kini pengawas yang tidak pernah ku
harapkan itu tepat berada didepan ruanganku, sambil menanyakan, “Ruangan 3?”
Seperti pada umumnya, semua guru
pasti menyuruh semua siswa-siswinya untuk menyimpan tas didepan kelas. Sambil
menunggu semua orang yang berdesakan untuk menyimpan tas itu, aku masih santai
duduk berdiam dengan mata yang mencuri-curi waktu untuk sedikit melihat
wajahnya yang sejak pertama muncul dihadapan mataku yang selalu melemahkan hati
itu. Ah sialnya aku tidak pernah memergoki dia sedang melihatku.
Ku ambil tasku dan berjalan kedepan
menyimpan tas. Ku balikkan badanku, dan mata ini berhasil melihat dia yang juga
melihatku. Aaaaaaaa rasanya aku ingin pergi keluar ruangan dan berteriak
sekencang-kencangnya.
Kembali kusandarkan punggungku ini
tanpa rasa ragu. Helaan nafas yang begitu banyak mengeluarkan karbondioksida
ini mengawali semua kegiatanku untuk menghadapi soal ujian yang akan dibagikan
pengawas. Ku keluarkan semua peralatan perangku untuk melawan semua pertanyaan
yang ada di dalam soal itu. Dan kali
ini aku tidak berani mempermainkan ponsel, pensil runcing inilah yang ku
permainkan untuk menyembunyikan semua getaran yang ada dihati ini.
Bel istirahat pun terdengar olehku.
Langsung saja aku berjalan keluar ruangan untuk menemui teman-teman yang berada
disebelah ruangan.
“Kalian harus tau! Orang yang duduk
semeja sama Nda itu cowo terganteng di kelas XI!”
“Wah masa? Tunjukkin dong!” Widya
langsung menatap ke arah ruanganku.
Ku ajak mereka ke ruanganku untuk
menunjukkin siapa dia. Ujung bola mata ini langsung saja tertuju kepada sosok
pria berkulit putih dengan tinggi yang proposional. “Gila itu cowo bikin habis
kata aja.” hati ini berdesir ketika bibir merahnya melengkungkan sebuah
senyuman.
“Itu
cowo yang itu!” ku bisikkan pada Widya
“Mana
sih? Gak keliatan, tunjukkin!”
“Jangan
ih, nanti kalau keliatan lagi nunjuk-nunjuk gimana?”
“Yang
itu? Ganteng dong. Putih lagi, kalah putihnya kamu juga.”
Sepertinya
setiap orang yang melihat dia, tidak akan pernah ada yang menyatakan bahwa dia
itu jelek.
“Ah
dia memang ganteng banget, idaman deh pokoknya.” aku tidak berhenti untuk terus
mengaguminya dalam hati.
Ulangan akhir semester pun usai.
Senyumnya,
dan sapaan halus itu tak pernah tampak lagi. Lagi-lagi hati ini berkecamuk,
“Aku rindu dia? Tidak mungkin. Nda gak boleh rindu sama dia, dia bukan
siapa-siapa kamu, ingat!” Tapi nyatanya aku memang merindukan dia. Rindu pada
saat dia membawakan kertas LJK ku yang terjatuh. Rindu pada saat dia meminjam
Tipe-x. Aku rindu segala perilakunya.
Gila. Jika
harus berkata sendiri. Berbicara berkata mengutarakan perasaan kepada diri
sendiri. Tidak cukupkah aku disebut gila, bila setiap hari aku harus terus
tidur larut hanya untuk mendapatkan suatu pesan kerinduan. Setiap detik, setiap
menit, mungkin berhari-hari aku terus menatap sebuah layar ponsel yang sudah
seperti tidak ada kegunaannya. Rindu yang lama terpendam ini berkarat, seperti
besi yang lama tersimpan dan tidak dipergunakan. Rindu yang tidak tersampaikan
ini basi, seperti makanan yang didiamkan begitu lama.
Berlanjutnya acara Pekan Olahraga Antar Kelas
(PORAK)
Bayangan
yang biasa ku bayangkan itu sedikit menghilang ketika ku temui mereka,
teman-teman yang selalu membuatku bahagia. Aku yang terlalu sibuk memberi
semangat teman-teman sekelaspun tidak menyadari siapa orang yang sedang bermain
bola.
“Nda
liat siapa yang pake baju warna merah?” Fivie menunjuk kepada salah seorang
yang ada dilapangan.
“Siapa?
Dimana ih?”
“Itu
yang lagi main bola.”
“Wasit
itumah, kenapa?”
“Bukan
ih. Itu cowo yang duduk semeja sama kamu.”
Kaget
setengah mati ketika melihat dia memakai baju ketat dan celana pendeknya.
Badannya yang tinggi dan atletis serta sorot matanya yang tajam itu selalu
membuatku terpana, “Astagfirulloh maco banget itu cowo.”
Ketampanannya
yang tampak melibihi batas maksimum itu hanya bisa ku pandangi dari atas
bangunan. Ucapan semangatku yang tertuju kepadanya ini tidak berani ku ucapkan
didepan matanya. Aku hanya berharap dia bisa menyempatkan waktunya untuk
sedikit memandangku. Namun harapan itu mungkin hanya sebuah harapan belaka.
“Itu tidak mungkin terjadi Nda.” hati ini mulai menasehati ku. Konsentrasi ku
semuanya benar-benar tertuju kepada dia yang sedang bermain bola, sehingga aku
tersadar begitu lamanya aku memandangi dia. Namun mata ini kembali mencari
celah untuk memandangi semua tingkah lakunya itu.
“Kamu suka sama dia Nda?”
tanya Widya disaat aku terus memandang Adit.
“Hah gak tau deh, kenapa
memangnya?” jawabku sontak mendengar pertanyaan Widya.
“Jangan suka sama dia deh,
udah punya cewe itu orang.” dengan tenangnya Widya memberitahuku tentang
hubungannya Adit.
Mendengar pernyataan itu
membuatku merasakan sesuatu yang mengganjal dalam hati. Sulit ku terima dengan
apa yang ku dengar tadi. “Memang seharusnya kamu gak suka sama dia. Salah,
semuanya salah dari awal.” logika ini
terus membuatku merasakan penyesalan, membuatku lemah tak berdaya. Aku hanya
bisa berdiam tanpa sepatah kata yang keluar dari bibirku. Mungkin
inilah yang harus terjadi. Aku harus mengalami sebuah penyesalan dengan
rintihan rasa kesakitan. Ini memang bukan yang pertama aku mengalami hal
seperti ini. Namun entahlah rasanya semua itu tidak aku jadikan sebagai suatu
pembelajaran. Aku benar-benar mencintainya. Tapi, kali ini aku melihat semua
kenyataan itu. Kenyataan yang menyakitkan. Tergores luka yang tidak
mengeluarkan darah sedikitpun itu lebih menyakitkan. Aku yang merasakan. Aku
yang mengalami tak kuasa meyakinkan semua ini. Semuanya hancur, punah, pilu. Secepatnya
aku ingin pergi dari semua cerita ini, terlebih aku ingin pergi dari kehidupan
yang menyakitkan ini. Sesal, tangis, sia-sia semua itu benar-benar ku rasakan.
Kini, luka ini, kembali menghampiri. Semua luka harus ku alami disetiap dimensi
hidupku. Aku tak ingin merasakan sakit seperti ini, tapi juga tidak bisa
menolak.
Malampun
menghampiri, dan aku hanya bisa memandangi sebuah layar ponsel. Berharap seseorang
bisa membuatku tertawa, membuatku melupakan semua kenyataan yang tadi siang ku
dengar.
“Nda, kamu gak apa-apakan?” pesan
dari Fivie itu seolah-olah mempertanyakan keadaan hatiku.
“Maksud kamu
apasih? Baik-baik aja ko.” balasku. Hati ini terlalu tangguh, selalu
berpura-pura tegar tapi pada nyatanya hancur dengan segala kebimbangan. Apa
yang dikatakan hati dan apa yang diucapkan oleh bibirku selalu berbeda.
“Jangan bohongin
hati gitu deh. Dari pulang sekolah kamu murung terus gak kaya sebelumnya.”
“Beneran gak
apa-apa ko Fi. Cuma gak enak badan aja, mungkin gara-gara terlalu semangat
ngedukung anak kelas.” sekali lagi ku yakinkan Fivie. Aku tidak bisa jujur. Aku
selalu berbohong, tepatnya membohongi semua perasaanku. Yang ada hanya kabut
penuh misteri.
“Yaudah deh,
semangat yah.”
Kali
ini aku berusaha untuk menepis semua bayangannya. Tidak ingin ku ingat kembali
semua tingkah lakunya.
1
bulan berlalu.
Mengingat masa
lalu itu sungguh sangat suram, seperti stasiun televisi yang tidak siaran. Sangat
bodoh jika harus menunggu seseorang yang tidak pernah memperdulikanku. Dan itu dulu
sebelum aku turut melaksanakan apa yang dikatakan semua logika ku. Bila harus
dilihat dari arah jarum jam mungkin setiap saat aku menyebut namanya dengan
sebuah pengharapan. Menangis setiap malam itu yang aku lakukan pada saat itu.
Terlalu gila, seperti terpengaruhi setan agar terus menangis sehingga tiada
senyuman yang ku berikan kepada semua orang. Selalu terpaku kepada layar
ponsel, mengharap mendapatkan sebuah pesan dengan sebuah kalimat “I Love You”. Tapi
apa yang terjadi? Selalu saja membisu. Mungkin dulu perasaan ini terlalu
mengekang logika ku. Sehingga sulit untuk menyadarkan diri. Terlalu lemah bila
harus melupakan dia yang tidak pernah sedikitpun untuk memandangku.
Waktu memang cepat
berlalu, begitu juga perasaan ini. Perasaan yang selalu mengharapkan seseorang
yang seperti tuli karna selalu tidak mendengar ucapan harapanku. Seseorang yang
seperti bisu karna selalu diam dengan bibir rapat tertutup, tidak berbicara,
tidak menjawab semua pertanyaan tentang harapanku. Seseorang yang seperti bodoh
karna selalu tidak mengerti dengan apa yang aku katakan, selalu tidak paham dengan
apa yang aku harapkan. Seseorang yang seolah-olah tidak ada suatu kejadian.
Tidak peduli. Dihiraukan. Perasaan ini berlalu dengan perlahan. Ya walaupun
waktunya butuh berminggu-minggu. Tapi setidaknya aku bisa melupakan dia.
Senang? Tentu.
Rasanya damai, bisa tertawa lepas tanpa bayangan kedukaan setiap malam. Melihat
layar ponsel pun bukan mengharapkan pesan dari seorang pria yang begitu tangguh
merasa dirinya paling hebat.
Rasanya dunia
memang benar-benar indah. Hujan gelappun rasanya tetap indah. Memukau bila
harus melihat pelangi memancarkan sinar warna. Seperti membuka hati yang
sebelumnya tertutup rapat. Membuka dengan pancaran sinar, dengan sebuah
senyuman yang benar-benar nyata, senyuman tanpa kesedihan. Bebas melangkah
berjalan disetiap bebatuan yang memberikan jalan kehidupan menuju kebahagiaan
nyata. Bebas berkata tapi bukan namanya. Seperti mendapatkan sebuah berlian
didalam cangkang kacang. Bahagia sekali. Logika ini benar. Melupakan seseorang
yang selalu memberikan sakit dihati, merusak semua saraf di hati, menghancurkan
memory yang tersimpan di pikiran dengan sedih yang terus mengadu itu sangat menyenangkan.
Logika membuat hidup kembali beraksi. Beraksi dengan semangat yang membara
untuk memperbaiki apa yang sebelumnya pernah dilakukan di masa lalu. Logika
membuat perasaan kembali utuh. Membuat darah mengalir disetiap alirannya dengan
kelancaran tanpa hambatan. Seperti memakai hati perasaan baru karna tidak
merasakan sakit lagi. Seperti memakai sebuah rekaman kosong yang isinya
hanyalah kebahagiaan.
Move on? Kenapa
tidak? Itu mudah bila memang ada niat dan ada seseoarang yang bisa
membantu untuk melupakan.
Hari pertama masuk
sekolah.
Kali ini aku resmi
menjadi siswi kelas XII. Dan pada saat ini pula aku sering bertemu dengannya.
Terkadang aku dan dia saling bertegur sapa ataupun tersenyum bila bertemu. 1
minggu yang lalu dikabarkan bahwa dia tidak lagi menjalin hubungan dengan
pacarnya itu. Dan itu tidak menyurutkan niatku untuk kembali mencintainya. Aku
benar-benar sudah melupakan dia.
Semakin sering aku
bertemu dia, dan aku semakin merasakan keanehan pada dirinya.
Tatapannya yang
kosong itu tidak pernah bisa membuatku untuk mengartikan cinta. Aku yang tidak
pernah lagi memikirkannya dalam setiap waktu luangku, hadir begitu saja dalam
setiap mimpi malamku. Sapaan halus yang dia hadirkan dalam setiap pertemuan
singkat hanya ku anggap sebagai sebuah simbol pertemanan yang tidak lebih dari
sebuah harapan untuk saling memadukan sebuah hati kosong tanpa berisikan
seseorang yang dicintai. Senyum yang menghiasi setiap garis guratan bibirnya
itu tidak pernah menyadarkanku, selalu beranggapan hanya sebuah senyuman yang
selalu hadir disetiap pertemuan seorang teman biasa.
Berawal dari perhatiannya
yang secara tiba-tiba. Kejadian yang seharusnya tidak aku ingat masih tersimpan
dalam memoryku, pada saat aku membuat status di sebuah jejaring sosial twitter “Pusing”. Dengan cepatnya, tidak lebih dari
5menit dia membalas dan seolah-olah ingin tau keadaanku “kenapa?”. Pertanyaan
itu terasa berbeda. Aku yang sedang duduk santai memainkan laptopku di sebuah
panggung sekolah langsung mengarahkan mata ini pada sebuah tempat dimana dia
belajar. Aku seperti merasakan ada suatu keganjalan pada pertanyaan itu. Apa
yang aku rasakan sama seperti orang yang sedang mengalami jatuh cinta
“berdebar”. Tapi itu hanya sesaat. Aku menganggap itu hanya pertanyaan biasa.
Hanya sebuah perhatian yang selalu dia berikan kepada teman-temannya. Memberi
perhatian kepada seseorang bukan berarti cinta kan.
Selanjutnya apa
yang terjadi? Dia meminta nomor handphone ku. Ah rasa keanehan itu muncul lagi.
Karena aku menganggap dia teman langsung saja aku berikan nomor handphone ku.
Aku kira dia akan langsung memberi ku pesan singkat atau menghubungi ku. Tapi
ternyata tidak. “Rasa percaya diri kamu terlalu tinggi Nda.” logikaku menertawakan.
Kami bercakap-cakap melalui direct message. Dan dia memberitahuku kalau
dia tidak mempunyai pulsa untuk menghubungiku. Aku sih hanya beranggapan “Ya
terus kenapa kalau tidak menghubungiku? Masalah emangnya.”
Cukup lama Aku dan
dia bercakap. Saling membalas pertanyaan yang kami lontarkan. Tawa canda dan
kesal kami hadirkan dalam percapakan itu. Seperti biasa, selalu menganggap
perhatian itu sebagai perhatian kepada teman biasa. Tidak pernah berpikir dia
sedang mendekatiku, apalagi berpikir lebih bahwa dia mencintaiku. Itu tidak
pernah terpikirkan. Terlalu angkuh bila aku berpikir dia mencintaiku. Tanpa
bukti dan pernyataan bukankah itu tidak bisa menunjukkan adanya rasa cinta?
Jarum jam terus
berputar. Roda kehidupan terus berlanjut dengan keadaan bumi yang tidak pernah
berhenti berputar. Dan perhatian yang begitu nyata telah aku rasakan. Perhatian
yang berubah menjadi sebuah pengharapan. Dia menunjukkan rasa keinginannya
untuk bisa bersamaku. Tidak ada perubahan, aku terus menganggap itu hanya
sebuah lelucon. Perhatiannya, setiap kalimat yang dia tuliskan semakin
menjadi-jadi. Rasa bingung pun datang menghampiri dengan cepatnya. Apa yang
terjadi pada saat itu benar-benar tidak bisa disangka. Apa ini yang dinamakan
karma?
Pertanyaan yang
dia berikan padaku bukankah itu terlalu cepat untuk dipertanyakan? 2hari untuk
pendekatan bukankah itu terlalu lambat untuk bisa saling memahami sifat dan
karakter satu sama lain. Benar-banar tidak bisa dipercaya dengan apa yang dia katakan.
Pembuktian rasa cintanya yang terlalu singkat itu tidak bisa membuatku percaya
begitu saja. “Apa dia sedang mempermainkanku dengan sebuah perkataan cinta?”
hati dan logikaku kembali beradu.
Bingung harus
menjawab apa. Kata ‘Iya’ yang ingin aku katakan rasanya sulit untuk aku
ungkapkan disaat aku sudah melupakannya. Terlalu banyak kebimbangan. Terkadang
hati ini bisa menerima tetapi kemudian bisa jadi menolak. Bagaimana bisa aku
mengambil alih hatinya yang justru aku malah berusaha untuk melupakannya. Hati ini
terlalu angkuh untuk menolakmu, seorang pria yang selama ini aku idam-idamkan.
Sesak rasanya.
Semua memory ingatanku bersama dia kembali hadir, disaat mengetahui bahwa dia
sudah mempunyai kekasih. “Apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah kamu sudah
melupakan dia kan Nda?” logika kembali mengingatkanku. Disaat seperti ini
mengapa dengan mudahnya kenangan yang sudah terkubur dalam kembali berontak
dalam sebuah ingatanku. Kenangan itu benar-benar tidak bisa aku hindari.
Kenangan menyakitkan itu terlalu cepat menjalar dalam setiap tetesan darah yang
mengalir ke semua sudut jaringan sistem tubuhku. “Lantas apa yang harus aku
lakukan?” teriak ku dalam hati. Semua yang aku rasakan kini tidak bisa
diartikan dengan sebuah ungkapan kata atau sebuah lirik lagu yang diciptakan.
Tidak bisa berfikir
apalagi menjawab pertanyaannya. Sulit untuk memilih apalagi untuk berkata
“Iya”. 24 jam yang ku miliki tidak bisa memastikan sebuah jawaban “Iya atau
Tidak”. Keyakinanmu semakin membuatku bingung. Logikaku pada saat itu bisa
mengalahkan perasaan yang selalu menolak untuk menerima cinta yang lain. Kata
“Iya” yang pada saat itu selalu tersingkirkan kini tertulis pada sebuah pesan
yang akan aku sampaikan padanya sebagai sebuah jawaban dari semua pertanyaan
yang pada saat malam itu dia
pertanyakan.
2 bulan sudah aku
menjalin hubungan dengannya, Adit.
Setiap ucapannya
itu selalu aku simpulkan bahwa dia memang benar-benar mencintaiku. Berkata
lembut penuh kemesraan selalu hadir disetiap percakapan. Terdengar merdu setiap
kata yang keluar dari bibir indahnya yang selalu menghadirkan sebuah senyuman
yang selalu ku ingat. Damai terasa setiap pujian yang dia berikan. Kata-kata
manis dan tingkah laku manja selalu membuatku percaya. Tidak ada pikiran buruk.
Selalu beranggapan baik. Selalu percaya seakan-akan cintanya tulus dan tak
bernoda. Disaat dia hilang pun selalu beranggapan “Ah, mungkin dia sedang
sibuk”.
Semuanya sungguh
terasa indah. Terasa sempurna antara ucapan dan perlakuan yang selalu dia
berikan. Sehingga terbius dan selalu mengharapkan kehadirannya yang terlewat
batas memberikan ketenangan dan kedamaian hati. Rasanya seperti dibutakan. Rasa
bahagia yang selalu dia berikan membuat air mata ini tidak pernah hadir
melewati setiap guratan pipi. Janji yang diucapkan membuat kepercayaan ini
selalu melekat. Janji bersama, selalu berdua dan tidak pernah meninggalkan.
Selalu menjalin dengan cinta yang benar-benar nyata.
Sungguh mesra.
Terbit matahari hingga terbenamnya matahari rasa cinta yang dia tunjukkan
benar-benar terasa dibenak hati. “Apa yang harus diragukan?” terkadang hati ini
selalu berucap. Dia selalu memberi kabar baik. Tidak pernah meninggalkan.
Selalu ada menemani disetiap berdetaknya denyutan jantung yang masih hidup ini.
Aku benar-benar merasakan ketenangan menjalin hubungan dengannya.
Tapi…… Apa yang
terjadi saat ini? Semuanya berbeda. Tidak lagi sama dengan apa yang pernah
terjadi sebelumnya. Hilang. Rasanya tenggelam terbawa arus gelombang. Lenyap.
Tidak menyangka. Sangat tidak menyangka. Seakan-akan seperti matahari terbenam
selamanya.
Dan kini semuanya
terasa setelah Tuhan memisahkan. Memisahkanku dengan dirinya yang tidak lagi
menjadi kita. Memisahkan dia dariku, dia yang benar-benar aku cintai. Berpisah
jauh berbeda keberadaan. Perbedaan yang bukan hanya sekedar perbedaan.
Perbedaan ini bukanlah perbedaan tempat yang mungkin hanya berbeda jarak
beberapa kilometer. Perbedaan tempat yang bukan seperti bumi dan luar angkasa.
Sedih jika harus
menerima kenyataan. Kenyataan antara aku dan dia yang berada di alam berbeda.
Sebuah perbedaan yang sulit untuk disamakan. Perpisahan yang nyata tidak akan
pernah kembali bersama.
Seandainya aku
bisa menawar kepada Tuhan, aku lebih meminta dijauhkan darinya hanya beberapa
kilometer saja. Tidak seperti ini, dijauhkan yang tidak bisa dianalisis berapa
kilometer jauhnya. Tidak seperti suatu hubungan jarak jauh yang pada suatu saat
akan bertemu pada suatu tempat yang sama.
Apa yang aku
rasakan sekarang? Sedih? Sakit? Tidak, jika aku tidak mencintainya.
Kehilangannya
bukanlah yang aku harapkan. Tapi mengingat keESAan Tuhan bukanlah sebuah
lawanan. Mengharapkannya yang telah pergi untuk kembali bersama di dunia sangat
tidak mudah. Tidak seperti mengharapkannya kembali pada saat kau pergi ke suatu
kota. Mengharapkannya kembali tidak sama seperti mengharapkan suatu barang yang
diidam-idamkan. Perbedaan harapan yang sangat drastis bedanya.
Apa yang sekarang
aku lakukan? Tertawa bahagia setelah mengetahui hal itu? Iya, jika aku tidak
menyanyanginya.
Bibir ini terlalu
bisu untuk berkata. Jari-jari ini seperti terserang kram yang sama sekali tidak
bisa digerakkan. Mata terbuka tapi entah tatapannya menuju ke arah mana.
Seperti kosong dan tanpa arah tujuan. Telinga ini masih berfungsi tapi tidak
bisa mendengar apa yang dibicarakan orang. Seperti tuli tapi tidak. Hidung ini
masih bernafas, menghirup oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida. Tapi
rasanya sesak, sangat sesak. Seperti terserang asma.
Jantung ini masih
berdetak. Tapi, apakah dia mengalami hal yang sama sepertiku?
Duduk terdiam.
Menatap dengan tatapan kosong. Berbicara terbata-bata tapi otak tidak bisa
mencerna dengan apa yang diucapkan.
Melihat dia
terbaring sekarang tidak sama seperti sebelumnya pada saat melihat dia
terbaring dipangkuanku dengan senyuman manis yang terhadir dibibirnya. Melihat
dia, menatap sesosok wajah seseorang yang sangat aku cintai, disayangi, diam
dengan detakan jantung yang tidak lagi berfungsi. Wajah pucat menampakkan
ketiadaannya. Tidak bernyawa, tidak sama seperti orang-orang yang menangisi
kepergiannya.
Aku tidak ingin
mengalami suatu kejadian ini. Tapi apa yang bisa aku lakukan? Menolak dengan
kemarahan itu sama saja menentang Tuhan. Tidak ingin tetapi tidak bisa menolak.
Berlutut memohon dengan sebuah harapan besar pun rasanya tidak ada artinya.
Kematiannya sudah digarisi Tuhan pada saat itu. Menangis darahpun itu tidak
bisa memberikan kajaiban untuk dia kembali terhadap kenyataan.
Aku tidak tau.
Sangat tidak tau. Menangis yang ada. Seperti orang gila jika harus tertawa
melihat orang yang dicintai tiada. Rasanya tidak ingin mengingat kembali sebuah
kejadian lampau bersamanya. Sebuah canda tawa, kemarahan, perhatian, rasa
kesal, kebahagiaan yang selalu menyelimuti hubunganku dengannya. Ini seperti
saatnya sebuah rekaman masa lalu kembali berputar berulang-ulang dalam sebuah
ingatan. Menjadikan air mata tangisan terus membanjiri, mengalir, melewati
setiap guratan pipi. Isak tangis yang membuat jantung terasa sesak dengan
ketidakterimaan terhadap kenyataan ini.
Tidak ingin. Jangan
pernah tinggalkan aku………………… Jangan pergi. Jangan menjauh. Tetap disini
bersamaku. Datanglah kembali untuk mengusap air mata ini. Jangan kau berpaling.
Aku sangat membutuhkan dirimu yang bisa membuat tangisan ini menjadi senyuman.
Peluklah aku. Buatlah aku tenang dengan suara alunan melodi yang kau mainkan
dihadapanku. Nyanyikanlah sebuah lagu didepan mataku, yang bisa membuat
kesakitan ini menjadi kebahagiaan nyata.
Aku mohon.
Comments
Post a Comment