“Rindu.” Sebuah Kata Yang Tak Tersampaikan.



“Rindu.” Sebuah Kata Yang Tak Tersampaikan.

Tercurahkan dengan sebuah kalimat. Terungkapkan dengan sebuah nyanyian. Beralun bernada beriramakan sebuah kerinduan. Mengalir tenang turun ke sela-sela suatu pengharapan. Berdendang menari indah bersemi diatas tangisan.

Apa yang terjadi hari ini merupakan suatu kenyataan. Merindukan bukanlah suatu pengharapan. Karna apa yang aku harapkan merupakan keberadaanmu yang selalu ada menemani. Seperti bintang dan bulan yang saling memancarkan sinar cahaya. Seperti perahu dan nelayan yang selalu bersama mengarungi lautan. Seperti induk ayam dan anaknya yang selalu bersama tidak pernah terpisahkan. Seperti tinta dan bolpoin yang saling membutuhkan, melengkapi satu sama lain untuk menjadikan suatu kegunaan.

Menyadari bahwa kamu bukanlah bulan/bintang, bukanlah perahu/nelayan, bukanlah induk ayam/anaknya, bahkan kamu bukan tinta ataupun bolpoin. Kamu hanyalah sesosok manusia sama seperti diriku. Sesosok manusia yang bisa merasakan rindu. Dan aku yang merindukan sesosok manusia yang bisa merasakan kerinduan itu. Suatu rindu yang entah kapan bisa tersampaikan. Bosan dengan sebuah rindu yang hanya tersampaikan dengan sebuah kalimat. Bosan dengan sebuah rindu yang hanya tersampaikan dengan sebuah lirik nyanyian. Bosan dengan apa yang aku pendam sekarang. Sulit menyampaikan kerinduan, menyiksa perasaan dan pikiran yang ada. Berusaha mengungkapkan tetapi tiada keberanian. Berusaha berbicara secara langsung mengatakan apa yang aku pendam itu sulit. Rasanya kaki ini terlalu layuh untuk aku langkahkan, melangkah menemuinya dan mengatakan sejujur-jujurnya.  Seperti terserang kelumpuhan sehingga sulit berjalan. Mulut ini terlalu bisu untuk mengucapkan sebuah kata rindu dihadapannya. Terlalu lemah untukku. Tidak ada keberanian untuk mengucapakan satu kata itu.

Apa yang aku lakukan hanyalah melihat layar ponsel. Setiap menit dan detik selalu melihat layar ponsel. Seperti terbius untuk terus menerus melihatnya. Berharap berdering mendapatkan suatu pesan kerinduan. Tertidur lelap bersama ponsel yang tidak mengeluarkan suara seperti bisu yang tidak dapat berbicara.

Gila. Jika harus berkata sendiri. Berbicara berkata mengutarakan perasaan kepada diri sendiri. Tidak cukupkah aku disebut gila, bila suatu hari aku harus terus tidur larut hanya untuk mendapatkan suatu pesan kerinduan. Setiap detik, setiap menit, mungkin berhari-hari aku terus menatap sebuah layar ponsel yang sudah seperti tidak ada kegunaannya. Rindu yang lama terpendam ini berkarat, seperti besi yang lama tersimpan dan tidak dipergunakan. Rindu yang tidak tersampaikan ini basi, seperti makanan yang didiamkan begitu lama.

Berdetaknya jantung tidak sama cepatnya seperti kerinduan yang terus menjalar, mengalir kedalam setiap tetesan darah, menghampiri pikiran dan perasaan yang tidak tau bagaimana rupanya. Berkedipnya kelopak mata tidak sama lambatnya seperti mengucapkan sebuah kata rindu dihadapannya. Sangat lambat diucapkan karna tidak ada keberanian. Lambat seperti berjalan di sebuah padang pasir dengan kehausan yang sangat menyiksa.

Aku bukanlah seorang pria yang kebanyakan mempunyai keberanian untuk mengungkapkan. Aku hanyalah seorang wanita yang sama seperti wanita lain pada umumnya. Yang hanya bisa memendam, menyimpan suatu perasaan yang begitu besar, menyimpan suatu kerinduan yang begitu mendalam.

Comments

Instagram